PLTU Batang Jadi Penyangga Utama Keandalan Listrik Jawa-Madura-Bali

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, saat kunjungan kerja spesifik ke PLTU Batang, Jawa Tengah, Rabu (24/4/2025). Foto: Ulfi/vel
PARLEMENTARIA, Batang - Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang dinilai sangat penting dalam mendukung sistem kelistrikan nasional, khususnya di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, saat melakukan kunjungan kerja spesifik ke PLTU Batang, Jawa Tengah, Rabu (24/4/2025).
PLTU yang memiliki kapasitas 2.000 megawatt ini dikelola oleh konsorsium di bawah PT Bimasena dan telah mengadopsi teknologi ultra super critical. Menurut Sugeng, teknologi tersebut memungkinkan proses pembakaran batu bara yang jauh lebih efisien, sehingga dapat meminimalkan emisi debu dan karbon.
“Ini pembangkit listrik kategori modern. PLTU Batang memiliki kapasitas besar, yakni 2.000 megawatt (2 giga), dan sudah menggunakan teknologi ultra super critical. Artinya, pembakaran batu baranya nyaris sempurna, sehingga debu dan emisi karbonnya sangat minim,” ujarnya.
Sugeng juga menyoroti efisiensi operasional PLTU Batang yang tinggi, dengan tarif listrik yang dibeli PLN hanya sekitar 5 sen dolar per kilowatt-jam. Pembangkit ini beroperasi dengan skema Independent Power Producer (IPP), di mana listrik dibangun oleh pihak swasta dan dijual kepada PLN melalui mekanisme take or pay.
“Dengan efisiensi tinggi dan kapasitas besar, PLTU ini menjadi penyangga utama keandalan listrik di kawasan Jamali. Beban listrik saat ini sudah cukup, bahkan bisa dikatakan zero accident, tanpa pemadaman bergilir,” tambahnya.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah VIII itu juga menegaskan bahwa listrik merupakan hak dasar warga negara yang harus dijamin ketersediaannya oleh negara, termasuk di wilayah perbatasan dan terpencil. Komisi XII, kata dia, akan terus mendorong peningkatan rasio elektrifikasi nasional menuju 100 persen.
Selain mendukung pembangkit berbahan bakar fosil yang efisien, Komisi XII DPR RI juga menekankan pentingnya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) seperti panas bumi, tenaga air, dan tenaga surya, sebagai bagian dari upaya transisi energi menuju target konsumsi listrik 5.000 kWh per kapita pada 2045.
“Saat ini konsumsi listrik Indonesia baru 1.400 kWh per kapita. Bandingkan dengan Brunei yang sudah mencapai 10.000 dan Singapura 7.000. Konsumsi listrik ini menjadi indikator kualitas hidup dan produktivitas,” jelas Sugeng.
Dalam peta jalan menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah juga menargetkan pembangunan pembangkit ramah lingkungan, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di sejumlah danau seperti Cirata dan Kedung Ombo sebagai solusi pemanfaatan EBT secara optimal.
“Transisi energi bukan semata mengganti energi fosil, tetapi juga menekan emisinya sambil membangun kapasitas EBT secara berkelanjutan,” pungkas Sugeng. (upi/aha)